Setelah banyak postingan yang berupa teknik-teknik gambar sekarang mari menilik sejarah mengapa manusia menggambar. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak
bisa lepas dari perpaduan titik, garis, bidang dan warna yang membentuk
sebuah citra dan arti, yang kita namakan dengan ‘gambar’ (picture/image).
Baik dalam bentuk sederhana pada rambu lalu lintas, hingga bentuk yang
lebih menarik pada pakaian, hiasan rumah, aksesori, maupun pada
benda-benda lain di sekitar kita.
Bagaimana seandainya gambar tidak pernah
ada dalam hidup kita? Jauh di masa prasejarah, selama lebih dari
100.000 tahun yang lalu, begitulah hidup manusia. Tidak ada gambar sama
sekali. Imageless.
Hingga sekitar 35.000 tahun lalu dalam
sejarah peradaban, manusia mulai menciptakan gambar untuk mencitrakan
dan mengartikan sesuatu. Oleh para arkeolog, periode ini disebut
‘ledakan kreatif’ (creative explosion period).
Pada tahun 1879,
seorang arkeolog amatir bernama Marcelino De Sautuola dan putrinya
Maria, menemukan lukisan/gambar sekumpulan Auroch (sejenis lembu ox yang
sudah lama punah) di goa Altamira, Spanyol Utara. Penemuan ini tidak
dipercaya keasliannya karena gambar-gambar di goa tersebut terlalu bagus
untuk seniman prasejarah.
Hingga beberapa dekade ke depan,
penemuan-penemuan lukisan goa terjadi. Salah satu gambar tertua yang
paling terkenal adalah gambar di goa Lascaux, Perancis yang ditemukan
pada tahun 1940. Dinding goa tersebut penuh dengan gambar mammoth,
bison, rusa kutub dan kuda. Diduga alat-alat yang digunakan untuk
melukis adalah tulang berbentuk datar sebagai palet, alang-alang atau
bulu digunakan sebagai kuas dan tumbuh-tumbuhan digunakan sebagai sumber
pewarna.
Kembali pada definisi gambar. Gambar
adalah perpaduan titik, garis, bidang dan warna yang dikomposisikan
untuk mencitrakan sesuatu. Bagaimana manusia yang tidak pernah melihat
gambar sebelumnya, terpikir untuk menciptakan gambar dan darimana asal muasal ide untuk menciptakan sebuah gambar?
Pada abad ke-20, Henri Breuil, seorang
pastur Perancis yang juga merupakan pakar terkemuka dalam seni goa,
menyatakan teori bahwa sama seperti seniman-seniman di masa kini yang
menggambar ulang keadaan lingkungan di sekitarnya, seniman-seniman
prasejarah juga menggambar/melukiskan kehidupan lingkungan di
sekitarnya. Dalam hal ini adalah berburu. Menurutnya, seniman prasejarah
memiliki kepercayaan bahwa, gambar-gambar hewan tersebut akan membantu
mereka untuk memperoleh banyak hewan buruan.
Namun, teori ini gagal karena tulang
belulang di sekitar goa yang diduga adalah hewan buruan dan makanan
manusia prasejarah, bukanlah merupakan tulang hewan-hewan yang
digambarkan di dinding goa, yang pada awalnya diduga sebagai gambar
hewan buruan. Selain itu, para seniman pada zaman ini menggambar di goa
yang sempit dan gelap, yang tentu saja jauh dari perhatian manusia
pemburu lainnya, yang juga ingin memperoleh banyak hewan buruan.
Beberapa tahun lalu, muncul sebuah
gagasan revolusioner untuk memecahkan pertanyaan tersebut. Terinspirasi
dari lukisan-lukisan serupa yang tampak seperti gambaran berburu, yang dibuat oleh suku San atau biasa dikenal dengan Bushmen beberapa ratus tahun lalu, di tebing Drakensberg, Afrika Selatan.
Salah seorang peneliti lukisan goa, David
Lewis Williams menjabarkan, suku San percaya bahwa manusia hidup dapat
meninggalkan tubuh dan berjalan mengunjungi dunia roh. Hal ini terjadi
ketika dalam keadaan trans (trance) atau biasa disebut dengan
kesadaran yang berubah. Tradisi ini biasa dilakukan oleh tabib dari suku
San untuk menyembuhkan salah satu anggota keluarga suku tersebut.
Ternyata, lukisan suku San beberapa ratus
tahun lalu tersebut bukanlah menggambarkan kehidupan sehari-hari.
Tetapi merupakan pengalaman halusinasi mereka ketika sedang berada dalam
keadaan trans.
Teori baru muncul, berdasarkan kesamaan
pola lukisan yang terdapat pada lukisan suku San yang hanya berusia
ratusan tahun di Afrika, dengan pola lukisan beribu-ribu tahun lalu di
Eropa. Kesamaan tersebut selain objek utama merupakan hewan yang kuat
juga bentuk pola-pola lain seperti bulat-bulat, garis-garis zig-zag dan
bintik-bintik yang tampak digambarkan seperti motif di dinding goa.
Lalu apa yang menyebabkan manusia di lokasi dan waktu yang berbeda dapat menciptakan bentuk gambar yang sejenis? David Lewis Williams kemudian menyatakan, jawabannya adalah pada kesamaan otak seniman tersebut.
Dr. Dominic Ffytch dari Institute of
Psychiatry di London menyatakan bahwa, ada bagian otak yang dapat
mempengaruhi visualisasi seseorang, terlepas dari riwayat kesehatan
matanya. Untuk membuktikan hal ini, sukarelawan diminta mengenakan
sepasang kacamata khusus yang dapat menstimulus bagian visual pada otak,
dengan mata tertutup. Kacamata khusus tersebut tersambung dengan
komputer yang mengatur jumlah kilatan cahaya yang diberikan pada
sukarelawan tiap detik. Stimulus yang diberikan pada otak tersebut
menyebabkan sukarelawan dapat ‘melihat’ bentuk walaupun dengan mata
tertutup. Pola yang dilihat sama, seperti bulatan, warna-warni
spektrum, garis-garis, kotak hitam putih dan jaring-jaring.
Ffytch menerangkan, hal ini bisa terjadi
karena tampaknya ada bagian otak kita yang mewakili
bentuk-bentuk/pola-pola tersebut. Siapapun yang bagian otaknya tersebut
terstimulus, maka akan memperoleh visual serupa. Dalam keadaan trans,
bagian otak ini pulalah yang juga terstimulus. Begitu pula ketika mata
dalam keadaan ‘lemah’ seperti tertutup atau di ruang gelap, bagian otak
ini akan terstimulus dan dapat melihat pola-pola yang sama ketika berada
dalam keadaan trans.
Hal inilah yang menjelaskan, kenapa
lukisan suku San bisa berpola sama dengan para seniman prasejarah yang
melukis di goa gelap yang sempit. Para seniman prasejarah, kehilangan kemampuan indera matanya ketika berada di dalam goa gelap dan otaknya terstimulus untuk berhalusinasi. Itulah mengapa para seniman yang masuk ke dalam goa tanpa cahaya sama sekali, mungkin melihat bentuk-bentuk yang sama. Halusinasi ini didukung pula oleh pengalaman kebudayaan mereka, yang juga berperan penting sebagai referensi
penciptaan visualisasi tersebut. Yaitu hewan-hewan kuat yang dikagumi
seperti Aurochs di Spanyol, Mamot di Perancis dan Eland di Afrika.
Lahirnya gambar pertama kali bukan dari
pikiran tiba-tiba oleh manusia, melainkan dari mengenali bentuk dan
citra yang dibuat oleh otaknya yang diproyeksikan ke dinding. Para
seniman prasejarah tersebut kemudian mengukir visi-visi yang tercipta di
kepala mereka tersebut di dinding goa.
Gambar kemudian berkembang mengikuti
perkembangan peradaban manusia menjadi sebuah karya seni dalam berbagai
kategori. Lukisan, film dengan gambar bergerak (animasi) dan lain
sebagainya.
sumber: BBC series, How Art Made The World